Senin, 07 Maret 2016

Kekerasan Disekolah Dari Segi Pandang Guru





Berdasarkan hasil penelitian UNICEF, sekitar 80 % siswa di Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Untuk Sumbar sendiri, sesuai rilis data dari LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia),  telah ada sepuluh kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Apa yang salah dalam sistem pendidikan negara ini sehingga begitu banyak kasus kekerasan di dunia pendidikan?


Kabar tentang kekerasan guru kian digadang-gadangkan. Alasannya, selama ini kita hanya melihat dari kaca mata siswa, tanpa pernah mencoba untuk memandang dari kacamata guru. Guru sebagai seorang yang telah memiliki ilmu dan pengetahuan tentang seni mengajar sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya tidak ingin menggunakan kekerasan di dalam proses belajar mengajar, hanya terkadang ada sebagian guru yang melenceng dari kode etik yang telah ditetapkan. 

Sebelum kita mengkaji perilaku guru, ada baiknya kita lihat dulu apakah perilaku dan perangai peserta didik pada saat sekarang ini telah berjalan pada jalurnya? Saya pernah mendengar sebuah percakapan kecil antara seorang guru dan muridnya, “Ka ma juo kalian pai lai? Capeklah bajalan tu urang ka upacara lai”. Mendengar hal tersebut, dengan entengnya murid menjawab, “Eee apak ko lai, ribuik se ha”. Beginikah cara seorang murid zaman sekarang menanggapi teguran guru yang notabene adalah orangtua kedua bagi mereka?


Ada peristiwa lainnya yang pernah saya lihat dimana seorang guru ‘menampar’ (menyentuh secara lembut) siswanya dengan tujuan mendidik. Ketika guru itu berlalu, murid tersebut malah menampar mukanya sendiri sampai memerah dan kemudian mengadukan kepada orangtuanya. Mendengar pengaduan anaknya, orangtua si anak melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Untungnya pihak kepolisian setempat mengenal guru bersangkutan dengan baik, sehingga masalah tersebut tidak berkepanjangan.

Selain itu saya juga pernah melihat bagaimana seorang guru di sebuah yayasan yang diberhentikan dari pekerjaannya hanya karena mendedikasikan tubuh dan fikirannya untuk mendidik siswa di daerah pedalaman di Sumatera Barat. Dimana ketika sedang mengajar seorang muridnya terlihat enggan untuk belajar, dan itu terjadi tidak hanya dengan guru tersebut tetapi juga dengan guru yang lain. Melihat tingkah laku murid tersebutsang guru menegurnya sampai 3 x. setelah bosan melihat tingkah laku siswa tersebut, guru itu membiarkannya dan mengatakan “kalau kamu nggak mau belajar tidak apa-apa asal jangan mengganggu teman yang lain. Tapi dia masih membandel bahkan mengganggu temannya dan mengakibatkan kacaunya proses belajar mengajar. Kemudian guru tersebut menjewer kuping nya dan mengusir keluar. Tidak sampai setengah jam, siswa tersebut kembali bersama orangnya kesekolah dan orangtuanya memaki-maki sang guru didepan murid-murid yang lain. Itu baru permulaan, tidak sampai beberapa bulan guru tersebut diberhentikan oleh yayasan dengan alasan tidak bisa mengajar dengan baik dan kasar terhadap murid.

Kita juga harus menyadari kalau guru itu pun juga seorang manusia yang mempunyai batas kesabaran. Malahan guru adalah manusia yang sangat sabar dalam menghadapi tingkah polah anak didiknya.

Kita semua pernah sekolah dan merasakan bangku sekolah. Ketika kita salah, kita akan mendapatkan ganjaran dari guru sehingga untuk selanjutnya hal tersebut tidak terulang lagi.
Sudah menjadi kecenderungan umum bahwa dekadensi moral yang terjadi sekarang pada kalangan pelajar telah mencapai titik mengkhawatirkan dalam dunia pendidikan di negara ini, khususnya di Minangkabau. Bahwa etika sosial maupun perilaku dalam bermasyarakat sudah tidak menjadi acuan lagi dalam pergaulan sehari-hari. Saya ingat ketika masih duduk di bangku sekolah. Saat itu, jangankan untuk bertegur sapa dengan guru, untuk bertemu saja segan rasanya. Sebegitu bersahaja dan berwibawanya seorang guru ketika itu.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak hanya disalahkan kepada guru semata, kita harus menganalisa apa sebenarnya yang terjadi hingga hal yang seperti itu bisa terjadi.

Menurut saya, semua yang terjadi pada saat  ini disebabkan oleh suatu produk yang bernama kemajuan zaman. Perkembangan teknologi telah menyeret kita ke suatu arus yang tak berdasar, kita menerima mentah-mentah semuanya tanpa menyaringnya dengan benar. Kita tidak bisa mengenyampingkan pengaruh dari media seperti internet, game online dan televisi. Tidak usah menutup mata, betapa banyak tontonan yang menyuguhkan bagaimana sikap seorang siswa kepada guru, guru dijadikan sebagai bahan ejekan (guru ditampilkan sebagai seorang sosok yang bodoh) dan banyak hal lainnya. Keadaan ini pun memicu siswa untuk berperilaku kurang ajar dan menyepelekan gurunya.

Selain itu didikan orangtua yang terlalu memanjakan anaknya sehingga si anak merasa selalu benar dan berbuat semaunya. Ajaran atau didikan yang pertama kali yang diterima oleh anak adalah berasal dari keluarga, baru setelah itu kemudian lingkungan dan sekolah. Oleh karena itu, faktor keluarga dan lingkungan inilah yang paling banyak mempengaruhi pola pikir dan etika siswa dalam bersikap. Saya mencoba flashback ke masa sekolah. Saat itu, apabila siswa dimarahi dan dihukum oleh guru di sekolah, siswa tidak berani mengadu kepada orangtuanya di rumah. Apabila mengadu, hukuman yang diterima akan bertambah di rumah. Berbeda sekali dengan zaman sekarang. orangtua menelan mentah-mentah pengaduan anaknya dan pergi menyerang ke sekolah, lalu memarahi guru yang bersangkutan. Bahkan ada orangtua yang dengan bangganya berkata kepada guru, “aden se nan maagiah makan jo manggadangkan nyo indak pernah berang ka inyo do, kunun ang/kau, lai jaleh ang/ kau ko digaji untuak maaja mah. indak untuak manangani anak den.

Pantaskah seorang guru menerima perkataan seperti itu? Padahal tanpa kita sadari, dengan berbuat begitu kita sama saja mendorong anak untuk berperilaku sekehendak hati di sekolah dan lingkungan. Hal ini bisa saja membuat anak di suatu hari nanti tanpa segan ‘menerkam’ orangtuanya.

Akibat terlalu seringnya guru disalahkan dalam kekerasan di dalam dunia pendidikan, pada saat sekarang ini guru pun hanya memilih untuk mengajar, bukan mendidik. Misalnya saja, saat ini kebanyakan guru hanya mengajar dan menyampaikan materi tanpa mempedulikan etika dan tingkah laku anak didiknya. Dengan kata lain, sejumlah guru hanya mengejar target materi. Sesungguhnya hal tersebut hanya akan merugikan siswa bahkan menghancurkan masa depan siswa itu sendiri

Jika hal ini tidak ingin berlarut-larut, pemerintah harusnya bisa memberikan batasan yang tegas mana yang disebut penganiayaan atau hukuman yang bertujuan untuk mendidik. Selain antara orang tua dan pihak sekolah harus saling mengerti posisi masing-masing dan saling mengkomunikasikan untuk kemajuan siswa, bukan untuk saling menyalahkan.

Satu hal yang mungkin terlupakan oleh kita semua, apalah yang diaharapkan oleh seorang guru selain melihat keberhasilan anak didiknya. Pernahkah mereka meminta balasan atas apa yang telah mereka berikan kepada kita? Masih pantaskah rasanya falsafah itu kita dendangkan setiap saat? Mengutip lagu Ebiet G. Ade, mari kita bertanya kepada rumput yang bergoyang?


COMMENT & SHARE PLEASE