Berdasarkan hasil
penelitian UNICEF, sekitar 80 % siswa di Indonesia pernah mengalami tindak
kekerasan di lingkungan sekolah. Untuk Sumbar sendiri, sesuai rilis data dari
LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia), telah ada sepuluh kasus kekerasan yang terjadi
di sekolah. Apa yang salah dalam sistem pendidikan negara ini sehingga begitu
banyak kasus kekerasan di dunia pendidikan?
Kabar tentang
kekerasan guru kian digadang-gadangkan. Alasannya, selama ini kita hanya
melihat dari kaca mata siswa, tanpa pernah mencoba untuk memandang dari
kacamata guru. Guru sebagai seorang yang telah memiliki ilmu dan pengetahuan
tentang seni mengajar sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya tidak ingin
menggunakan kekerasan di dalam proses belajar mengajar, hanya terkadang ada
sebagian guru yang melenceng dari kode etik yang telah ditetapkan.
Sebelum kita
mengkaji perilaku guru, ada baiknya kita lihat dulu apakah perilaku dan
perangai peserta didik pada saat sekarang ini telah berjalan pada jalurnya? Saya
pernah mendengar sebuah percakapan kecil antara seorang guru dan muridnya, “Ka ma juo kalian pai lai? Capeklah bajalan tu urang ka upacara lai”.
Mendengar hal tersebut, dengan entengnya murid menjawab, “Eee apak ko lai, ribuik se ha”. Beginikah cara seorang murid zaman
sekarang menanggapi teguran guru yang notabene adalah orangtua kedua bagi
mereka?
Ada peristiwa lainnya
yang pernah saya lihat dimana seorang guru ‘menampar’ (menyentuh secara lembut)
siswanya dengan tujuan mendidik. Ketika guru itu berlalu, murid tersebut malah
menampar mukanya sendiri sampai memerah dan kemudian mengadukan kepada
orangtuanya. Mendengar pengaduan anaknya, orangtua si anak melaporkan hal tersebut
kepada pihak kepolisian. Untungnya pihak kepolisian setempat mengenal guru
bersangkutan dengan baik, sehingga masalah tersebut tidak berkepanjangan.
Selain itu saya
juga pernah melihat bagaimana seorang guru di sebuah yayasan yang diberhentikan
dari pekerjaannya hanya karena mendedikasikan tubuh dan fikirannya untuk
mendidik siswa di daerah pedalaman di Sumatera Barat. Dimana ketika sedang
mengajar seorang muridnya terlihat enggan untuk belajar, dan itu terjadi tidak
hanya dengan guru tersebut tetapi juga dengan guru yang lain. Melihat tingkah
laku murid tersebutsang guru menegurnya sampai 3 x. setelah bosan melihat
tingkah laku siswa tersebut, guru itu membiarkannya dan mengatakan “kalau kamu
nggak mau belajar tidak apa-apa asal jangan mengganggu teman yang lain. Tapi
dia masih membandel bahkan mengganggu temannya dan mengakibatkan kacaunya
proses belajar mengajar. Kemudian guru tersebut menjewer kuping nya dan
mengusir keluar. Tidak sampai setengah jam, siswa tersebut kembali bersama
orangnya kesekolah dan orangtuanya memaki-maki sang guru didepan murid-murid
yang lain. Itu baru permulaan, tidak sampai beberapa bulan guru tersebut
diberhentikan oleh yayasan dengan alasan tidak bisa mengajar dengan baik dan
kasar terhadap murid.
Kita juga harus
menyadari kalau guru itu pun juga seorang manusia yang mempunyai batas
kesabaran. Malahan guru adalah manusia yang sangat sabar dalam menghadapi
tingkah polah anak didiknya.
Kita semua
pernah sekolah dan merasakan bangku sekolah. Ketika kita salah, kita akan mendapatkan
ganjaran dari guru sehingga untuk selanjutnya hal tersebut tidak terulang lagi.
Sudah menjadi
kecenderungan umum bahwa dekadensi moral yang terjadi sekarang pada kalangan
pelajar telah mencapai titik mengkhawatirkan dalam dunia pendidikan di negara
ini, khususnya di Minangkabau. Bahwa etika sosial maupun perilaku dalam
bermasyarakat sudah tidak menjadi acuan lagi dalam pergaulan sehari-hari. Saya
ingat ketika masih duduk di bangku sekolah. Saat itu, jangankan untuk bertegur
sapa dengan guru, untuk bertemu saja segan rasanya. Sebegitu bersahaja dan
berwibawanya seorang guru ketika itu.
Kekerasan dalam
dunia pendidikan tidak hanya disalahkan kepada guru semata, kita harus
menganalisa apa sebenarnya yang terjadi hingga hal yang seperti itu bisa terjadi.
Menurut saya,
semua yang terjadi pada saat ini
disebabkan oleh suatu produk yang bernama kemajuan zaman. Perkembangan
teknologi telah menyeret kita ke suatu arus yang tak berdasar, kita menerima
mentah-mentah semuanya tanpa menyaringnya dengan benar. Kita tidak bisa
mengenyampingkan pengaruh dari media seperti internet, game online dan
televisi. Tidak usah menutup mata, betapa banyak tontonan yang menyuguhkan
bagaimana sikap seorang siswa kepada guru, guru dijadikan sebagai bahan ejekan
(guru ditampilkan sebagai seorang sosok yang bodoh) dan banyak hal lainnya.
Keadaan ini pun memicu siswa untuk berperilaku kurang ajar dan menyepelekan
gurunya.
Selain itu
didikan orangtua yang terlalu memanjakan anaknya sehingga si anak merasa selalu
benar dan berbuat semaunya. Ajaran atau didikan yang pertama kali yang diterima
oleh anak adalah berasal dari keluarga, baru setelah itu kemudian lingkungan
dan sekolah. Oleh karena itu, faktor keluarga dan lingkungan inilah yang paling
banyak mempengaruhi pola pikir dan etika siswa dalam bersikap. Saya mencoba flashback ke masa sekolah. Saat itu,
apabila siswa dimarahi dan dihukum oleh guru di sekolah, siswa tidak berani
mengadu kepada orangtuanya di rumah. Apabila mengadu, hukuman yang diterima
akan bertambah di rumah. Berbeda sekali dengan zaman sekarang. orangtua menelan
mentah-mentah pengaduan anaknya dan pergi menyerang ke sekolah, lalu memarahi
guru yang bersangkutan. Bahkan ada orangtua yang dengan bangganya berkata
kepada guru, “aden se nan maagiah makan
jo manggadangkan nyo indak pernah berang ka inyo do, kunun ang/kau, lai jaleh
ang/ kau ko digaji untuak maaja mah. indak untuak manangani anak den.”
Pantaskah
seorang guru menerima perkataan seperti itu? Padahal tanpa kita sadari, dengan
berbuat begitu kita sama saja mendorong anak untuk berperilaku sekehendak hati
di sekolah dan lingkungan. Hal ini bisa saja membuat anak di suatu hari nanti
tanpa segan ‘menerkam’ orangtuanya.
Akibat terlalu
seringnya guru disalahkan dalam kekerasan di dalam dunia pendidikan, pada saat
sekarang ini guru pun hanya memilih untuk mengajar, bukan mendidik. Misalnya
saja, saat ini kebanyakan guru hanya mengajar dan menyampaikan materi tanpa
mempedulikan etika dan tingkah laku anak didiknya. Dengan kata lain, sejumlah
guru hanya mengejar target materi. Sesungguhnya hal tersebut hanya akan
merugikan siswa bahkan menghancurkan masa depan siswa itu sendiri
Jika hal ini
tidak ingin berlarut-larut, pemerintah harusnya bisa memberikan batasan yang
tegas mana yang disebut penganiayaan atau hukuman yang bertujuan untuk mendidik.
Selain antara orang tua dan pihak sekolah harus saling mengerti posisi
masing-masing dan saling mengkomunikasikan untuk kemajuan siswa, bukan untuk
saling menyalahkan.
Satu hal yang
mungkin terlupakan oleh kita semua, apalah yang diaharapkan oleh seorang guru
selain melihat keberhasilan anak didiknya. Pernahkah mereka meminta balasan
atas apa yang telah mereka berikan kepada kita? Masih pantaskah rasanya falsafah
itu kita dendangkan setiap saat? Mengutip lagu Ebiet G. Ade, mari kita bertanya
kepada rumput yang bergoyang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar